Food, Book and Drama. Itu adalah judul blog ini. Tapi sepertinya saya tak pernah membicarakan satu bukupun, ya?
Jadi kali ini saya akan menterjemahkan buku yang diangkat menjadi drama The Moon That Embraces the Sun, drama sageuk yang sedang tayang di MBC.
The Moon That Embraces the Sun adalah novel karya Jung Eun Gwol yang diterbitkan pertama kali pada 29 Desember 2005. Menceritakan kisah cinta antara Lee Hwon, seorang raja Joseon (fiksi, tak ada raja Lee Hwon di sejarah Joseon yang sebenarnya) dengan Wol, seorang shaman.
Saya kurang mengerti arti shaman sebenarnya. Apakah ia peramal, tukang tenung, ahli perbintangan atau semuanya? Dulu saya pernah membaca komik yang berjudul Shaman King, tapi sepertinya deskrikpsi shamannya berbeda dengan arti shaman di novel ini.
Jadi saya tetap menterjemahkan shaman di novel ini dengan kata shaman, sampai ada yang memberitahukan pada saya apa arti shaman itu sebenarnya.
The Moon That Embraces the Sun - Bab 1
Pada
suatu sore di musim gugur, Yi Hwon dan pengawal pribadinya, Woon,
menemukan pohon besar sebagai tempat berteduh dari hujan yang sangat
lebat. Hwon sedang menyamar, hanya mengenakan busana bangsawan biasa.
Sementara penampilan Woon tak dapat dibantah, ia adalah seorang
pendekar. Rambut panjangnya terikat rapi dengan kedua pedang panjang
tersampir di punggung dan pinggangnya.
Kedua
pria itu berada jauh dari desa terdekat, dan hujan sepertinya tak
akan berhenti dalam waktu dekat. Tiba-tiba Hwon melihat sebuah gubuk
kecil di kaki gunung dan memutuskan kalau mereka akan berteduh di
tempat itu sampai hujan usai.
Tanpa
menunggu jawaban Woon, seperti kena sihir, Hwon berjalan cepat menuju
rumah itu. Tak ada pilihan lain bagi Woon selain mengikutinya.
Setibanya
di depan gerbang, langkah Woon terhenti karena melihat ada sebilah
tiang panjang menancap di pintu gerbang. Woon menyarankan agar Hwon
tak memasuki rumah itu, karena rumah itu didiami oleh seorang shaman.
Namun
tiba-tiba seorang wanita (yang nanti kita kenal dengan nama Seol)
muncul dan membuka pintu.
“Tunjukkan
siapa dirimu!”
“Aku
tak tahu harus berkata apa. Dalam situasi seperti apa seorang tuan
rumah harus menunjukkan jati dirinya pada tamunya? Bukankah
seharusnya aku yang harus menanyakan hal itu?”
“Untuk
apa seorang wanita memiliki sebuah pedang?”
“Mengagumkan.
Bagaimana kau tahu kalau aku memiliki pedang? Seperti dugaan.. Oh!
Bukan itu maksudku. Ehm.. Tuanku Putri memintaku untuk mengundang
kalian untuk masuk.”
“Aku
tanya sekali lagi, mengapa kau harus memiliki pedang?” tanya Woon
kembali.
“Di
tempat terpencil seperti ini, dua orang wanita tinggal sendirian.
Bukankah sudah sewajarnya kami memiliki setidaknya sebuah pedang?
Pertanyaan yang bodoh. Jadi, kalian mau masuk atau tidak?”
Walaupun
Hwon ingin masuk, tapi ia tak dapat memaksakan kehendaknya karena
Woon. Tapi sepertinya Seol sudah tahu kalau tamunya ragu-ragu, maka
iapun melanjutkan, “Tuanku Putri berkata kalau para tamu pasti tak
akan mau masuk, maka ia bertanya, ‘Apa bedanya jika berteduh di
bawah atap pintu masuk rumah seorang rendahan dengan berada di sebuah
ruangan yang hangat dan nyaman?”
Kata-kata
itu menjadi alasan yang tepat bagi Hwon untuk memaksakan dirinya
masuk ke dalam rumah. Seol mengantar tamunya ke sebuah ruang kosong.
Ruangan itu beraroma wangi bunga anggrek dan di lantai terdapat
sebuah meja kecil dengan minuman dan makanan di atasnya. Di samping
meja, ada anglo yang menyapa hangat para tamu, seakan-akan mereka
memang diharapkan datang. Namun selain itu, ruangan itu tak ada
bedanya dengan ruangan biasa, dan tak memiliki ciri-ciri yang
menunjukkan kalau rumah itu dimiliki oleh seorang shaman. Bahkan
ruangan itu malah mirip dengan ruangan seorang pria, seorang pelajar,
karena di di rak buku terdapat banyak buku literatur (Konfusius)
seperti Refleksi dari Lima Kitab dan Pertanyaan pada Ajaran Agung.
Mendengar
wanita, yang dipanggil Tuanku Putri oleh Seol, memasuki ruang
sebelah, Hwon kembali duduk di lantai. Ruang sebelah hanya dipisahkan
oleh sebuah pembatas ruangan sehingga Hwon hanya dapat melihat siluet
anggun seorang wanita yang ada di depannya. Rambutnya terkepang dan
diikat dengan sebuah daengi (pita), menunjukkan kalau wanita itu
belum menikah.
Dari
ruang sebelah, wanita itu memberi hormat dengan membungkuk sekali
padanya, namun ia kemudian membungkuk lagi. Dalam tata cara
tradisional, dua kali penghormatan berarti memberi hormat pada orang
yang sudah meninggal. Hwon dan Won mengerutkan kening, tak suka
dengan tindakan wanita itu yang kurang ajar.Tapi kemudian wanita itu
membungkuk lagi, membuat bingung kedua pria yang ada dihadapannya
(Tiga kali penghormatan berarti memberi hormat pada Budha). Dan
betapa terkejutnya Hwon dan Won karena wanita itu membungkuk sekali
lagi, penghormatan yang ditujukan pada seorang raja. Setelah
penghormatan yang terakhir, wanita itu menempelkan keningnya ke atas
lantai, dan membungkukkan tubuhnya serendah mungkin.
“Angkat
wajahmu.”
Wanita
itu perlahan-lahan mengangkat badannya, dan dengan lembut
menangkupkan kedua tangan di atas lutut kirinya. Hwon masih belum
dapat melihat jelas wajah wanita itu. Ia bertanya pada wanita itu,
mengapa ia memberi empat kali penghormatan padanya. “Apakah kau tak
dapat menghitung?”
“Saya
hanya ingin memberi penghormatan yang selayaknya pada matahari.”
Mendengar
suaranya yang indah, Hwon sesaat kehilangan kata-kata.
“Apa
yang kau maksud dengan matahari? Bagi seorang wanita, matahari adalah
suami.”
“Seorang
wanita juga rakyat Joseon.”
Hwon
tak dapat berucap lagi. Jelas wanita ini mengetahui kalau ia adalah
seorang raja. Kemudian, wanita itu meminta Hwon untuk meminum minuman
yang telah ia persiapkan.
Hwon
jadi semakin ingin tahu wajah wanita itu dan memintanya untuk
memperlihatkan wajahnya. Tapi ketika wanita itu tak menjawab, malah
tetap mempersilakan Hwon untuk minum, Hwon memerintahkan Woon untuk
memindahkan pembatas itu. Dengan sekali tebas, pembatas yang
memisahkan ruangan mereka terjatuh ke lantai. Dan seakan-akan pedang
tajam Woon juga membelah awan hujan di langit, cahaya bulan tertumpah
sehingga memenuhi ruangan.
Sekali
lagi Hwon terkesima akan kecantikan wanita itu yang sangat mempesona,
tapi ia menutupinya dengan kemarahan.“Tak peduli seberapa rendah
tamu yang datang, adalah kewajiban tuan rumah untuk memperlihatkan
diri dan menyambut saat tamu memasuki rumah. Mengapa kau tak mematuhi
perintahku?”
“Walaupun
status sosial saya adalah terendah dari yang rendah, berdasarkan
takdir langit, saya adalah seorang wanita. Saya gagal melaksanakan
kewajiban saya sebagai tuan rumah karena saya melaksanakan kewajiban
saya sebagai seorang wanita (yaitu menjaga jarak dengan pria).
“Kau
mengikuti aturan itu walau kau bukan wanita bangsawan?”
“Saya
tak pernah mendengar sebuah undang-undang yang melarang seorang
wanita rendahan tak boleh mengikuti aturan para wanita bangsawan.”
Hwon
tertawa sembari meraih sebotol arak. Ia tak pernah menemui seorang
wanita yang tak takut untuk mengungkapkan perasaannya dengan penuh
rasa hormat tapi juga penuh percaya diri pada Raja. Hwon menuangkan
minuman untuk Woon, tapi Woon tak melihat gelas itu dan tetap
menatap lantai, mengisyaratkan kalau ia tak dapat minum saat sedang
bertugas mengawal raja.
Melihat
hal ini, wanita itu berkata, “Betapa tak bertanggung jawab kau ini.
Kau tak tahu siapa aku dan minuman apa yang aku sajikan, dan kau
malah menolak minuman itu? Apa kau mengawal Raja hanya dengan
pedangmu saja?”
Mendengar
kata-kata itu, Woon tak punya pilihan lain kecuali meminumnya.
(Seperti kebiasaan minum di Korea) Ia menolehkan kepalanya ke
samping, dan matanya bersirobok dengan mata wanita itu.
Hwon
ingin tahu bagaimana wanita itu bisa mengenalinya sebagai Raja.
“Hamba
ingin bertanya pada Paduka. Jika sebuah matahari bersinar di langit
malam, apakah itu sebuah matahari, atau sebuah bulan?”
Hwon
tak menjawab dan wanita itu pun melanjutkan, “Matahari adalah
matahari, dimanapun ia berada. Begitu juga dengan Paduka.”
“Tapi
tak seorang pun di desa mengenaliku. Jadi bagaimana kau bisa?”
Ketika
wanita itu tak menjawab, Hwon bergumam pada dirinya sendiri, “Meja
dan anglo ini sudah dipersiapkan sebelumnya. Apakah aku dihantui oleh
sebuah roh?”
Setelah
berpikir sejenak, wanita itu menjawab kalau ia mengenalinya dari
pedang yang dibawa oleh Woon, karena Seol memiliki cukup banyak
pengetahuan tentang pedang.
“Seol
memiliki mata yang hebat. Dari kejauhan dan kegelapan, ia mampu
melihat pedang yang dibawa oleh pengawal Raja. Tidak, ia bahkan dapat
mengetahui sebelum melihatnya. Apakah aku sedang digoda oleh hantu?”
Hwon tetap memandang wanita itu dan berkata, “Kemarilah. Duduk di
ruangan sebelah membuatku tak mampu melihat apakah kau menyembunyikan
kesembilan ekormu atau tidak.”
Wanita
itu sedikit ragu, namun ia berjalan menuju ruangan dimana Hwon dan
Woon duduk. Dan ia pun duduk kembali.
“Apakah
kau hantu .. atau manusia..?”
“Orang-orang
mengatakan kalau saya bukan manusia.”
“Jadi
kau benar-benar seorang hantu?”
“Mungkin.
Saya adalah sebuah jiwa dengan kesedihan yang dalam.”
“Apakah
kau mempermainkanku? Bagaimana mungkin seorang hantu memiliki
bayangan?”
“Saya
tak berbohong. Bukankah seorang shaman memiliki derajat lebih rendah
dari seorang manusia budak? Jadi saya tak berani mengatakan kalau
saya adalah seorang manusia.”
“Seorang
shaman.. Kau adalah seorang shaman. Jadi kau sudah mengetahui
kedatanganku.”
“Tidak,
Paduka. Walaupun saya seorang shaman, saya tak dapat meramal atau
membaca pikiran orang. Saya adalah seorang shaman tanpa kemampuan
seperti itu.”
“Memang
ada jenis shaman seperti itu?”
“Saya
malu untuk mengakuinya, tapi memang ada jenis shaman seperti itu.
Menjalani hidup seperti ini, di tempat ini, adalah sebuah cara untuk
memperpanjang hidup.”
“Kau
berbicara tapi aku tak memahami ucapanmu. Woon, apakah kau pernah
mendengar hal semacam ini?”
Woon
melirik wanita itu kemudian menunduk kembali, menandakan kalau ia
juga tak pernah mendengar hal seperti itu. Hwon yang bingung kemudian
bertanya lagi, “Apakah kau benar-benar seorang shaman?”
“Tak
mampu mengakhiri hidup, saya hidup sebagai shaman. Saya tak bisa
hidup sebagai manusia, tapi sebagai shaman maka saya bisa tetap
hidup.”
Melihat
wanita itu berbicara dengan tenang, Hwon malah merasakan kepedihan
yang mendalam. Iapun bertanya kembali, “Siapa namamu?”
“Saya
bukan siapa-siapa.”
“Aku
bertanya siapa namamu.”
“Ada
hukum yang tegas. Di depan raja, semua orang tidaklah penting. Mohon
ijinkan saya untuk memperkenalkan diri sebagai bukan siapa-siapa.”
Hwon
yang frustasi mengeraskan suaranya. “Kurang ajar! Beraninya kau
membuatku mengulang perintah. Aku bertanya sekali lagi. Siapa namamu?
Jika kau manusia, kau pasti memiliki nama keluarga dan nama lahir.
Jika kau bukanlah seorang hantu, katakan namamu.”
“Nama
keluarga diberikan pada orang yang memiliki ayah. Nama lahir adalah
nama yang diberikan pada orang yang memiliki ibu. Karena saya tak
memiliki ayah ataupun ibu, maka sayapun tak memiliki nama. “
“Maksudmu,
kau tak bernama?”
“Saya..
telah hidup tanpa sebuah nama.”
“Menyebalkan
sekali. Apakah kau mempermainkanku lagi?”
“Saya
sudah mengatakan kalau saya tak akan berbohong.”
“Aku
pernah mendengar kalau setiap shaman mempunyai ibu wali. Bagaimana
ibu wali memanggilmu?”
“Ibu
wali tak pernah memanggil saya dengan sebuah nama.”
“Bagaimana
mungkin?”
“Khawatir
akan nasib yang akan mengikat kami karena sebuah nama, maka ia tak
pernah memberi nama.”
“Berapa
umurmu?”
“Karena
saya tak pernah menghitung tahun, maka saya tak dapat menjawab.”
“Berapa
tahun kau tinggal di sini?”
“Sangat
lama sekali. Saya hidup terperangkap di sini untuk waktu yang sangat
lama.”
“Tapi
dialekmu bukan seperti orang asli daerah ini. Dialekmu seperti orang
yang berasal dari Hanyang (ibukota Joseon) jadi kau pasti bukan asli
dari daerah ini. Sebelum tinggal di sini, kau pasti memiliki
identitas, kan?”
Mata
wanita itu tak dapat menyembunyikan kesedihan yang mendalam. Tapi
suaranya tetap tenang.
“Itu
adalah kisah masa lalu yang sayapun tak dapat mengingatnya.”
Dalam
kemarahannya, Hwon membanting gelas araknya ke atas meja. “Aku
sudah bertanya banyak padamu, dan satupun tak kau jawab!”
“Saya
telah memberi banyak jawaban pada Paduka, tapi satupun tak Paduka
akui.”
“Dan
apa yang telah kau jawab? Namamu? Umurmu? Kau bahkan tak menjawab
jenis shaman seperti apa kau ini! Apakah kau benar-benar seorang
shaman?”
“Jika
Paduka tetap menganggap kalau jawaban saya tak memuaskan, apakah saya
harus berbohong pada Paduka? Jika saya berbohong, apakah jawaban itu
dapat memuaskan Paduka?”
Hwon
melanjutkan minum dan tanpa berkata-kata. Sesaat kesunyian merayapi
ruangan. Ia kemudian melanjutkan, “Tempatmu duduk masih terlalu
jauh. Kemarilah mendekat.”
Wanita
itu berjalan dua langkah mendekati Hwon dan duduk kembali.
“Masih
terlalu jauh. Kemarilah lebih dekat lagi.”
Akhirnya
wanita itu mendekat hingga jaraknya hanya seperlengan dari Hwon dan
ia duduk kembali. Walaupun bagi Hwon jarak itu masih terlalu jauh,
tapi ia membiarkannya. Sudah tak ada jarak lagi bagi wanita itu untuk
duduk lebih dekat. Di hadapan Hwon, nampak wajah putihnya, lebih
putih dari giok putih. Ia memiliki bulu mata yang lentik dan bola
mata yang pekat. Di hadapan Woon terlihat sisi samping wanita itu.
Walaupun sebuah wajah dapat berdusta, tapi tidak dengan postur
tubuhnya. Dan bagi Woon, kesedihan wanita itu nampak kentara sekali.
Agar tak melihat wanita itu, Woon menundukkan kepala dan menutup
matanya.
Sambil
menghela nafas panjang, Hwon bertanya, “Apakah kau dapat melihat
bagaimana hatiku mengalir padamu?”
“Karena
hanya ada setitik sinar rembulan, saya tak mampu melihatnya.”
“Kau
tak mampu melihat atau tak mau melihat? .. Tak dapatkah aku
merengkuhmu? (Catatan : merengkuh di sini bisa dikonotasikan secara
seksual)
“Karena
khawatir hati Paduka akan berat meninggalkan tempat ini, saya akan
tetap mengikat erat pita (baju saya)”
“Aku
tak akan meninggalkan hatiku. Karena aku akan membawamu kembali. Jadi
apakah kau mengijinkanku untuk menyentuhmu?”
“Saya
tak dapat pergi. Saya terikat dengan tempat ini.”
“Aku,
Rajamu, telah mengatakan akan membawamu pergi. Walaupun kau tak dapat
pergi, kau harus mengikutiku.”
“Di
bawah langit, ada hal yang bisa disatukan, dan adajuga hal lain yang
tak akan pernah bisa bersatu. Seorang raja dan seorang shaman
sangatlah jauh terpisah dan tak akan pernah bersama.”
Karena
ditolak, Hwon menaikkan suaranya, “Beri aku alasan mengapa kita tak
dapat bersama!”
Wanita
itu mengutip bagian dari buku Zouyi (Buku tentang Perubahan – I
Ching) dimana langit dan bumi haruslah terpisah agar dapat
menciptakan kedamaian.
“Aku
juga telah membaca Zouyi tapi arti yang kutangkap bukanlah itu.” Ia
menjelaskan kalau bumi tidaklah rendah karena dekat dengannya, dan
karena kedekatan itulah maka ia harus memperlakukan dengan baik.
Mengutip
dari buku Zuangzhi, wanita itu menjelaskan, “Langit yang mulia,
bumi yang hina, itu adalah hukum alam. Seperti musim gugur dan musim
dingin yang mengikuti musim semi dan musim panas adalah sifat dari
keempat musim, langit dan bumi juga memiliki peringkatnya. Apalagi
manusia.”
“Guruku
tak mengajarkan Zuangzhi seperti itu. Walaupun pemimpin berkuasa dan
rakyat mengikuti, pemimpin harus menjadi contoh bagi rakyatnya. Jika
aku adil, maka rakyat menjadi adil. Jika aku mulia, maka rakyat ikut
mulia. Itulah peringkat alam yang dimaksud. Aku tak akan menjadi hina
dengan merengkuhmu, tapi malah kau yang akan menjadi mulia.’
“Berbicara
kewajiban tanpa memperhatikan tanggungjawab bukanlah sebuah
kewajiban. Jika saya tak direngkuh, maka Paduka akan memberi contoh
yang baik bagi rakyat.. Saya bukanlah siapa-siapa yang bahkan tanpa
nama.”
“Aku
juga tak memiliki nama. Semenjak aku lahir dan masuk daftar calon
putra mahkota, membuatku tak bernama. Setelah dinobatkan menjadi
putra mahkota, aku bernama Hwon. Tapi tak seorang pun dapat memanggil
nama itu. Tak ada yang memanggilku Hwon atau Pangeran Ilsung, tapi
hanya Putra Mahkota. Sekarang setelah menjadi raja, bahkan nama Hwon
pun tak boleh tertulis dalam kertas. Jadi, bukankah kita sama, tak
bernama?”
“Tidak
sama. Itulah perbedaan langit dan bumi.”
Wanita
itu tetap kukuh seperti batu. Hwon terdiam seperti memikirkan
sesuatu. Kemudian seakan disadarkan oleh sesuatu, ia pun menyerukan,
“Ah,
benar! Karena ibu walimu tak memberi nama karena takut terikat nasib
denganmu, maka akulah yang akan memberimu nama, dan nasib kita akan
terikat. Aku akan memberimu sebuah nama.”
Kali
ini, wanita itu nampak terkejut.
“Di
dunia ini tak hanya ada nasib baik saja. Paduka tak seharusnya
memberi nama karena pertemuan sesaat. Mohon Paduka memikirkannya
kembali.”
“Kau
terlihat seperti rembulan, atau rembulan yang terlihat sepertimu? Aku
akan menamaimu Wol (artinya adalah bulan)”
Dan
sejak saat itu, wanita itu menjadi Wol. Hwon merasa yakin dengan
memberinya sebuah nama, takdir mereka akan berlanjut. Hwon ingin
menyentuh wajah Wol, tapi ia urungkan, khawatir jika ia menyentuh
wajahnya ia akan lenyap menjadi debu. Maka ia hanya melanjutkan
minumnya.
“Hari
ini bukanlah satu-satunya hari. Aku tahu namamu, aku tahu kau tak
bisa pergi dari tempat ini. Jadi akan ada pertemuan berikutnya.”
Hwon
menuangkan arak untuk Wol dan membacakan sebuah puisi
“Semua
makhluk datang dan datang lagi, tak pernah berhenti.
Aku
menunggu apakah semua sudah datang, tapi yang lain tetap datang.
Mereka
datang dan datang lagi dari sebuah tempat yang tak bertepi.
Maka
aku bertanya pada mereka, dari mana tempatmu berasal?”
(Cuplikan
dari bait pertama puisi Hwadam Seo Kyung Deok : Relic)
Walaupun
puisi itu sepertinya bertanya pada Wol darimana asalnya, tapi
pertanyaan itu bukan untuk Wol saja. Puisi itu adalah pertanyaan Hwon
pada dirinya sendiri, tentang perasaan yang tak terbantahkan muncul
dari hatinya. Wol menutup matanya, tak melirik sedikitpun pada
minuman yang dituangkan Hwon untuknya.
“Semua
makhluk pergi dan pergi lagi, tak pernah berhenti.
Aku
menunggu apakah semua sudah pergi, tapi ada yang belum pergi.
Mereka
pergi dan pergi lagi hingga saat akhir, tapi tak ada yang terakhir.
Maka
aku bertanya pada mereka, kemanakah kalian pergi?”
(Cuplikan
dari bait kedua puisi Hwadam Seo Kyung Deok : Relic)
Hwon
tak mengerti. Walaupun ia mengerti arti puisi itu, ia tak mengerti
apa yang Wol maksud dengan membacakan puisi tersebut.
“Apa
yang sebenarnya ingin kau katakan?”
“Saya
hanya ingin menyelesaikan bagian kedua (dari puisi itu). Dan karena
malam ini adalah akhir dari takdir kita, maka ini adalah permintaan
saya agar tak ada pertemuan berikutnya, Paduka.”
“Mengherankan
ada seorang shaman yang mengerti puisi Hwadam..”
“Begitu
pula seorang raja yang mengerti puisi Hwadam.”
(Catatan
: Karya Hwadam adalah jenis sahak, bukannya jeonghak. Suatu karya
yang seharusnya tak dipelajari oleh raja. Tak tahu beda antara sahak
dan jeonghak. Mungkin seperti perbedaan ideologi)
Dan
Wol melanjutkan, menyarankan Hwon untuk segera kembali karena hujan
telah berhenti dan gelasnya sudah kosong. Tapi Hwon merasa terluka
karena Wol menyuruhnya segera pergi. Bukan terluka oleh Wol, tapi
lebih pada perpisahaan itu sendiri.
“Pergilah
bersamaku. Saat pagi datang, pergilah bersamaku.”
“Saya
ingin bertanya, konsekuensi apa yang akan menimpa pengawal Paduka
jika paduka tak kembali saat ini juga.”
Wol
benar. Karena Hwon diam-diam pergi meninggalkan wisma kerajaan untuk
pergi ke desa, jika sesuatu terjadi, maka yang menangung akibatnya
bukanlah Hwon tapi Woon. Dan seperti biasa, kesalahan Woon
dikarenakan ia sebagai anak selirlah yang menjadi sasaran.
“Wol!
Aku akan datang menemuimu lagi. Tunggulah aku.”
“Saya
telah mengatakan jika malam ini adalah akhir dari takdir kita.”
“Dan
aku juga telah mengatakan kalau malam ini adalah awal dari takdir
kita.Dan karena aku tak bisa pergi begitu saja, aku harus membawa
kenang-kenangan darimu.”
Saat
Hwon mengatakan kenang-kenangan, Wol membuka matanya dan tersenyum
sedih. Hwon gembira melihat senyum pertama yang diberikan Wol
padanya, dan ia pun duduk mendekati Wol. Wol menjawab, “Saya tak
memiliki apapun. Saya hanya memiliki bulan di langit yang Paduka
berikan pada saya sebagai sebuah nama.”
Hwon
melihat ke bulan dan tersenyum, “Maka aku akan mengambil bulan itu,
yaitu seluruh dirimu.”
“Anda
tak seharusnya melakukan itu, Paduka. Saya mohon Paduka
mempertimbangkannya kembali.”
“Tak
ada yang tak mungkin aku lakukan! Aku akan mengikat perasaanku pada
bulan yang telah kau berikan padaku.”
“Tapi
bisakah saya meminta kenang-kenangan dari Paduka?”
Wajah
Hwon mendadak sumringah dan ia langsung menjawab, “Katakan apapun
itu. Aku akan memberikan semuanya.”
“Saya
mohon agar Paduka meninggalkan semua yang terjadi malam ini. Matikan
semuanya.”
“Jika
aku mematikan semua kenangan ini, apakah kau akan mengubur
kenanganmu juga?
Betapa
kejamnya dirimu! Betapa tak berhatinya dirimu! Kau mengundangku
datang sehingga aku masuk. Dan ketika aku tak mau pergi, kau malah
menyuruhku keluar. Walaupun sekarang aku pergi, tapi takdir kita tak
akan berakhir.”
“Ini
adalah takdir yang tak berarti.”
“Pertemuan
badan ini bukan hanya satu-satunya takdir. Pertemuan hati kita juga
adalah takdir. Kau tadi mengatakan kalau kau tak akan berbohong. Jadi
bisakah kau memungkiri kalau malam ini hati kita tak pernah bertemu?
Alasan
mengapa aku tak mengambilmu malam ini karena aku menjaga perasaanmu,
jadi jangan pernah mengatakan dirimu serendah itu. Walaupun status
sosial seseorang yang mengerti literatur itu rendah, tapi tidak
dengan kepribadiannya. Dan malam aku akan pergi dengan membawa
bulanmu.”
Dan
dengan kata-kata itu, Hwon bangkit dan keluar bersama Woon,
meninggalkan Wol yang terduduk di ruangan. Setelah berjalan cukup
jauh, Hwon berkata pada Woon, “Hatiku sakit dan aku tak sanggup
melihat ke belakang. Tolong lihatkan untukku. Apakah Wol melihat
kepergianku?”
Woon
melihat ke belakang, walaupun ia tak yakin alasan melihatnya karena
perintah raja atau keinginannya sendiri. Tapi di belakang mereka,
hanya tatapan Seol yang mengantar kepergian mereka.
“Ia
tak melihat.”
“Ya,
ya. Dan itu membuat hatiku berkurang rasa sakitnya. Woon, aku tak
pernah menyangka kalau cahaya bulan dapat sangat menyilaukan.”
Di
ruangan, Wol yang duduk terpaku bertanya pada Seol,
“Seol,
apakah kau melihatnya pergi?”
Sambil
menangis, Seol menjawab, “Ya, ia pergi! Ia benar-benar pergi!”
“Apakah
ia melihat ke belakang?”
“Tidak!
Ia tak menoleh sedikitpun.”
Wol
perlahan bergumam, “Ya, ya. Dan itu mengurangi kesedihan hatiku.
Seol, aku tak pernah menyangka kalau cahaya bulan dapat sangat
menyilaukan.”
“Kenapa
kau tak mengantarnya keluar? Kenapa kau hanya duduk di sini?”
Wol
tersenyum lembut dan berkata, “Karena hujan yang mengantarkannya
telah menempel di rumput, di tanah dan di angin. Dan setiap kali air
hujan menetes di jubahnya, air itu akan menembus ke dalam baju,
sepatu dan topinya, membawa hatiku bersamanya dan mengantarkannya
pulang ke wisma kerajaan.”
All
credits go to the author of The
Moon that Embraces the Sun,
Jung
Eun Gwol.
Thanks to Blue for her English translation from Bellectricground.
Indonesian translation by Dee from Kutudrama.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Please don't be silent reader, please post your comment anything^^
gamsahamnidaaaaaaaaaa^_^