Diberdayakan oleh Blogger.
RSS

Rabu, 25 Juli 2012

Novel : The Moon That Embracing The Sun - Bab 4


Novel : The Moon That Embracing The Sun - Bab 4 


Membaca bab 4 ini, saya jadi teringat ketika saya membaca terjemahan Novel yang kemudian diadaptasi menjadi drama Sungkyunkwan Scandal. Jika dikelompokkan, Novel Sungkyunwan Scandal dan Novel The Moon That Embraces The Sun masuk pada kategori Chicklit, dan bukannya Teenlit. Jadi ada beberapa bagian yang cukup dewasa di buku ini. 

Saya belum membaca sisa dari novel ini, tapi mengikuti pola Jung Eun Gwol dari novel sebelumnya, saya kira akan ada romantisme yang masuk dalam kategori young adult di bagian tengah buku. Jadi saya akan mensensornya demi kenyamanan bersama.

Novel : The Moon That Embraces The Sun – Bab 4


Bersamaan dengan suara genderang yang menandakan subuh, Wol diam-diam undur diri. Dan tak lama kemudian,Hwon pun terbangun. Setelah meminum sedikit air, Hwan langsung bertanya pada dayang, “Apakah seseorang mengunjungiku kemarin malam?”

Semuanya terkejut, tapi kasim dengan tenang menjawab kalau ahli nujum dari Kantor Astronomi singgah kemarin malam untuk membawakan jimat penangkal.

Hwon meregangkan badan dan bertanya heran, “Jimat penangkal seperti apa? Aku merasa jauh lebih baik.”

Tabib Istana segera dipanggil dan wajahnya sumringah setelah merasakan denyut nadi Raja. Semuanya gembira karena kesehatan Raja membaik dengan sangat cepat, tapi ahl nujjum istana gemetar ketakutan menyadari kalau masalah kesehatan Hwon sebenarnya bukan masalah medis dan mereka pun masih belum tahu penyebabnya.

Bahkan yang lebih mengejutkan lagi adalah Wol tetap terlihat sehat. Biasanya kesehatan shaman yang menggantikan menerima guna-guna dari Raja akan langsung memburuk, tapi hal ini tak terjadi.

Dengan kesehatannya yang cepat membaik, Hwon memaksa unntuk langsung mengerjakan tugas yang telah ia abaikan selama sakit. Ia mengirimkan salam pagi pada Ibu Suri Istana (Nenek Hwon) dan Ibu Suri (Ibu Hwon) melalui kasim. Dan pada istrinya yang ia tak pernah merasakan kasih, bahkan kadang melupakannya, ia kirimkan pesan agar tak perlu mengunjunginya.

Hwon teringat kalau ia memiliki istri jika ia bertemu dengan mertuanya, Menteri Papyeong. Bahkan sampai sekarang, Hwon berharap dapat mengenyahkan Menteri Papyeong dengan mengasingkannya, tapi hal itu tak dapat ia lakukan karena berarti ia akan mengibarkan bendera perang pada neneknya sendiri yang melindungi pria tersebut.

Sementara itu, nurani Woon bertentangan ketika mengawal Hwon. Ia tak dapat menceritakan masalah Wol padanya. Tapi ia juga tak dapat menyembunyikannya pada Hwon yang telah bersusah payah mencari Wol.

Walaupun Woon selalu diam, namun Hwon merasa diamnya Woon kal ini tak seperti biasanya. Ia menyuruh Woon untuk beristirahat, dan Woon pun pergi tanpa suara. Ketika pengawal depan melihat kepergian Woon, mereka langsung bersigap. Tanpa Woon di samping Hwon berarti para pengawal harus lebih waspada dalam menjaga Raja. Woon sangatlah tampan, bahkan para pengawal pria pun berdebar-debar saat dilewati oleh Woon yang bermata tajam dan berhidung mancung.

Woon menemui ahli nujum kerajaan di istana. Setelah bimbang cukup lama, ia pun bertanya, “Dimana dia?”
Ahli nujum kerajaan bingung akan pertanyaan yang dilemparkan oleh Woon yang biasanya diam, tapi ia segera menangkap maksud Woon yang menanyakan keberadaan shaman yang semalam. Ia meminta Woon untuk tak khawatir karena shaman tersebut akan tinggal di tempat terpencil dekat kediaman shaman kerajaan selama sebulan.

“Sejak kapan ia menjadi bagian dari Shaman Kerajaan?”

“Ia telah lama terdaftar menjadi Shaman.”

Dengan kata-kata itu, ahli nujum istana buru-buru pergi untuk menemui Hwon, dan meninggalkan Woon dengan berbagai pertanyaan tak terjawab.  Apa yang dikerjakan oleh shaman kerajaan di pedesaan yang jauh dari istana? Bagaimana kondisi kesehatannya sekarang? Apakah mempengaruhi kesehatannya? Kemana ia akan pergi setelah masa satu bulannya berakhir?

Tak lama, matahari terbit dari timur dan mencerahkan dunia. Woon menatap matahari yang menyilaukan.

“Jaraknya dengan istana sepertinya lebih jauh dari 10.000 ri (kurang lebih 3.927 km). Aku berkelana mencarimu. Mungkinkah kau sekarang juga sedang menatap matahari yang sama? Jika iya, kuminta jangan. Lebih baik tutup matamu daripada menatap matahari. Kau mungkin tak tahu betapa berat hatiku tak dapat menjadi awan yang dapat menyembunyikan sinarmu. Apakah kau pikir matahari yang tak dapat melihat bulan akan lebih bahagia daripada awan yang menyaksikan bulan dan matahari?”

Sementara itu ahli nujum istana memberikan dokumen yang dibungkus kain sutra merah pada raja, yang berisi waktu baik bagi Raja dan Ratu untuk menyempurnakan perkawinan mereka. Tapi melirikpun, Hwon tak sudi.

“Yang Mulia..”

“Aku masih merasa belum sehat.”

“Tak usah buru-buru, Yang Mulia. Mohon mulai sekarang Paduka mempersiapkan diri untuk dapat memiliki pewaris tahta, sehingga pemerintahan akan kembali stabil.”

Raja dan Ratu tak dapat tidur bersama setiap saat. Untuk mencegah lahirnya Raja yang lalim, waktu baik untuk pembuahan pun ditentukan oleh Kantor Astronomi. Tapi dengan segala hari perkecualian; yaitu saat bulan purnama, tanggal satu setiap bulannya, hari terakhir setiap bulannya, hari yang berangin, hari yang berhujan, hari yang berhujan badai atau hari di saat kondisi kesehatan Raja dan Ratu sedang tak baik, maka hari yang benar-benar ‘disetujui’ mungkin hanya satu kali dalam satu bulan. Jadi pada hari itu, Raja mau tak mau harus mengeluarkan.

[Note : duh, alinea yang susah-susah gampang untuk diterjemahkan. Karena lucu dan agak-agak saru. Cuman karena saya hanya menterjemahkan, don’t blame it on me, ya..  Haduh.. kesian banget jadi raja.. ]

Tapi sampai sekarang Hwon belum pernah menyempurnakan perkawinannya dengan Ratu. Tanpa alasan yang jelas, sejak awal Raja sudah membenci Ratu. Dan ketika hari baik sudah dipilih, sesuatu pasti selalu terjadi sehingga membuat kesempatan itu hilang. Jadi saat sidang selalu terjadi kericuhan, antara pihak yang menginginkan Raja untuk mengambil selir dengan pihak Ratu yang menolak hal itu.

Dengan wajah cemberut, Hwon membuka dokumen itu secara  serampangan. Hari baik yang dipilih adalah satu hari sebelum bulan purnama – hari terakhir dimana Wol ada di istana. Tapi tentu saja, Hwon tak mengetahui hal ini.

“Lihatlah, Won. Aku juga bukan manusia. Bagaimana mungkin aku berbeda dengan sapi dan babi yang harus beranak pinak? Walaupun kau bilang kau tak ingin ikut denganku, seharusnya aku harus merengkuhmu saat itu juga. Aku benar-benar menginginkannya. Bukan ragaku, tapi jiwaku.”

Saat kembali ke ruangannya malam itu, Hwon tak lagi mengungkit masalah Wol. Bahkan ia tak lagi memandang bulan. Ia malah menerima teh bunga matahari dengan senang, dan jatuh terlelap .. tak menyadari kalau Wol yang ia rindukan berada di sampingnya.

* * *

Minhwa menghela nafas di tengah-tengah kegiatannya menyulam seekor merak. Ia benar-benar bermaksud untuk menyulam sebuah merak, tapi yang ia lihat di hadapannya sekarang adalah seekor ayam gendut. Ia tak mungkin menggunakan sulamannya untuk ditempelkan di seragam suami tercintanya, Yeom. Ia memeluk jeogori (atasan hanbok) milik Yeom.

“Tuanku, aku kangen padamu. Sudah lama ..Ah, baru sebulan sejak kepergianmu, tapi rasanya lebih dari setahun bagiku. Aku ingin memamerkan hasil sulamanku saat kau kembali, tapi aku malah mengacaukannya. Walau tak ada yang dapat kupamerkan, kumohon cepatlah pulang.”

Bau tubuh Yeom sudah tak  tercium dari jeogori tersebut, dan hanya wangi milik Minhwa yang tersisa. Sebulan penuh ia memeluk jeogori itu. Diserang rasa kangen yang mendadak datang,  air mata mulai merebak di mata Minhwa.

“Air mata, ayo masuklah kembali. Air mata, ayo masuklah kembali. Kalau seorang wanita menangis, hal buruk akan terjadi pada suaminya.”

Bersamaan dengan Minhwa yang berjuang untuk tak meneteskan air mata, ia mendengar teriakan pelayan wanita dari luar.

“Yang Mulia! Yang Mulia! Beliau sudah tiba. Menantu kerajaan telah tiba!”

Mendengar kata-kata itu, Minhwa membuka pintu kamar dengan terkejut.

“Apakah benar? Ia sudah ada di sini atau ia akan menuju ke sini?”

“Beliau sudah memasuki pintu gerbang utama.”

Bersukacita, Minhwa melesat dan hampir tersandung roknya sendiri akibat ketidaksabarannya.Ia membenahi bajunya dan bersiap-siap untuk keluar, tapi berhenti sejenak untuk membedaki wajahnya. Kemudian ia berbalik dan bertanya pada Nyonya Min bagaimana penampilannya. Puas mendengar kata-kata Nyonya Min yang mengatakan kalau ia kelihatan cantik, Minhwa mengangkat roknya dan berlari keluar.

Terkejut melihatnya, Nyonya Min mengejarnya, “Yang Mulia! Harga diri Paduka! Harga diri Paduka!”

Tapi Minhwa tak mendengarkannya dan berlari dengan hanya mengenakan beoseon (kaos kaki yang dipakai untuk hanbok). Dibelakangnya Nyonya Min menyerukan tentang harga diri, dan dibelakangnya lagi seorang gadis pelayan mengejarnya dengan membawa sepatu Minhwa.

Setelah melihat Yeom masuk dan disambut oleh para pelayan, Putri Minhwa menghentikan langkahnya dan berbalik karena malu. Berharap suaminya langsung menemuinya setelah menyapa para pelayan, ia berulang kali memainkan pita bajunya. Rasanya dadanya ingin meledak saat ia menunggu, dan ia merasakan kehadiran Yeom di belakangnya. Tapi bukannya menyapa Putri Minhwa, Yeom malah terus berjalan menuju kamar ibunya. Walaupun kecewa, ia menghibur dan mengingatkan dirinya sendiri kalau sudah sepatutnya seorang anak yang berbakti harus menyapa ibunya terlebih dahulu. Minhwa berdiri di depan kamar ibu mertuanya, hampir tak dapat menahan diri untuk menyerbu masuk.

Yeom memberi hormat pada Nyonya Shin dan kemudian berlutut di hadapannya.

“Apakah hatimu sekarang jauh lebih baik setelah kembali dari perjalanan?”

“Ya.”

Yeom tersenyum tanpa suara. Nyonya Shin menghela nafas sebelum berbicara, “Beberapa kali pejabat istana mengunjungi rumah ini saat kau pergi. Keluarga kerajaan dan menantu kerajaan seharusnya tak boleh meninggalkan Hanyang .. “

“Aku telah mendapatkan ijin.”

“Tapi aku tak dapat menatap Putri. Tahukah kau betapa ia sungguh-sungguh menantikanmu? Apakah kau telah menyapanya sebelum datang menemuiku?”

“Belum. Aku ingin menemui Ibu dahulu.”

“Tak seharusnya kau begitu. Cepatlah keluar dan hiburlah dia. Ia pasti tak sabar menunggu di luar.”

“Aku akan menemuinya setelah aku mandi. Ibu tak perlu khawatir.”

Melihat Yeom keluar, Minhwa berbalik dan mulai mempermainkan bajunya lagi. Tapi seperti tadi, Yeom berjalan melewatinya langsung menuju kamarnya sendiri. Minhwa ragu-ragu untuk mengikutinya, tapi setelah melihat pintunya tertutup, air mata merebak di matanya. Karena ada pelayan di sekitarnya, dengan cepat ia menyembunyikan tangisnya dan kembali ke dalam kamar. Begitu sampai di dalam kamar, ia mengeluarkan tangis yang ia tahan sedari tadi. Setelah menangis untuk sekian lama, Minhwa merindukan Yeom lagi. Dengan wajah bersimbah air mata, ia menyuruh pelayannya untuk melihat apa yang sedang dilakukan oleh Yeom.

Pelayan itu keluar dan segera kembali sambil berbisik, “Beliau sedang mandi.”

Melihat Minhwa bangkit, Nyonya Min buru-buru meraih lengan Minhwa.

“Apa yang akan Yang Mulia lakukan? Yang Mulia tak bermaksud..? Tidak boleh! Saya tahu apa rencanya Yang Mulia. Menantu Kerajaan adalah pria yang bermartabat. Yang Mulia benar-benar tak boleh. Harga diri Yang Mulia..”

“Aku akan berperilaku bermartabat jika aku di hadapan orang lain, tapi aku tak memerlukannya di hadapan suamiku sendiri. Rasanya aku akan mati jika aku tak menemuinya sekarang juga. Jangan ikuti aku, Nyonya Min!”

Minhwa lari ke tempat pemandian, dan tanpa sepengatahuan siapapun, diam-diam ia menyelinap masuk ke dalam. Bahkan untuk pasangan yang telah menikah, melihat pasangannya mandi adalah menyalahi tata krama. Dan saat mandi sendiri pun, sudah sepatutnya mandi dengan memakai pakaian. Yeom adalah pria yang tahu sopan santun yang selalu mengikuti tata karma. Jadi walaupun ia ada di dalam bak mandi, ia tetap mengenakan pakaian.

Yeom past baru saja mencuci rambutnya, karena rambut panjangnya menempel ke leher dan mengambang di atas air. Walaupun ia berpakaian, tapi pakaian itu basah dan membayang, memperlihatkan kulit di balik pakaian itu. Air yang menetes dari hidung dan dagunya, terlihat begitu indah bagi Minhwa. Alis matanya yang gelap, bola matanya yang hitam seakan sedang berpikir dalam, sehingga tak menyadari kedatangan Minhwa. Terpesona oleh suaminya sendiri, Minhwa pun tenggelam dalam alam pikirannya sendiri.

Akhirnya Yeom merasakan kehadiran orang lain di dalam ruangan dan terkejut mencarinya. Ia semakin terkejut menemukan orang itu adalah istrinya sendiri. Tapi keterkejutan itu berubah menjadi canggung karena Minhwa tetap berdiri di hadapannya. Yeom berkata pelan, agar tak ada orang yang mendengarnya.

“Aku sungguh terkejut. Apa yang membawamu ke sini, Putri?”

“Aku .. aku hanya ingin mengucapkan salam ..”

“Kalau begitu nanti saja.”

“Tidak. Sekarang.. Aku merindukanmu dan tak dapat menunggu lebih lama lagi. Bahkan saat memandangmu seperti ini, aku juga masih merindukanmu.”

Tangis Minhwa pun pecah. Yeom tak tahu bagaimana cara menyapa Minhwa dengan pakaian (atau tanpa pakaian) seperti ini. Setelah cukup lama merasa tak enak, Yeom mengulurkan tangan padanya. Masih dengan airmata mengalir di wajahnya, Minhwa menghampiri Yeom dan menyambut uluran tangannya. Dengan hangat tangan Yeom menggenggam tangan Minhwa.

“Apakah mungkin aku membuatmu sedih?”

Minhwa tak menjawab. Dengan lembut Yeom mengusap air mata Minhwa.

“Rencananya aku akan menemuimu setelah mandi.”

“Tapi.. kau kan dapat menatapku sekali saja. Itu sudah cukup bagiku.”

“Ada banyak pelayan di sekitar kita. Dan juga.. , Putri, tak peduli betapa penting masalah itu, kau harus tetap mengenakan sepatumu.”

Minhwa terkejut mendengar ucapan itu dan melihat Yeom tersenyum padanya. Kenyataan kalau Yeom tahu ia tak memakai sepatu berarti Yeom sudah memperhatikannya tanpa ia sadari. Dan karena itu, ia merasa bahagia. Tapi kebahagiaan itu juga singkat, karena Minhwa menginginkan lebih saat ia memandang bibir Yeom. Padahal ekspresi Yeom jelas meminta Minhwa untuk meninggalkan ruang mandi karena mereka telah bertukar salam.

Yeom tak tahu apa keinginan Minhwa dan Minhwa tahu kalau Yeom tak akan pernah bisa menebaknya. Kedatangannya ke ruang mandi saja sudah diluar nalar Yeom. Minhwa tahu kalau ia harus segera meninggalkan ruang mandi ini, tapi matanya tak mau lepas dari Yeom. Akhirnya ia berseru, “Aku ingin sebuah ciuman!”

Yeom benar-benar sangat terkejut. Minhwa pun menunduk. Tapi bahkan setelah menunggu sekian lama, Yeom tak bergeming. Minhwa malah mendengarnya berbicara,

“Ehem.. Selama ini Putri pasti merencanakan berbagai cara untuk mengejutkanku.”

“Aku tak ingin ciuman yang dalam. Ciuman yang bermartabat pun tak masalah..”

Mendadak Minhwa merasa khawatir kalau Yeom akan berpikir kalau dirinya adalah wanita yang agresif, dan hal ini membuatnya sedih.

“Aku masih tak berpakaian yang sepantasnya. Matahari pun belum tenggelam. Ini tak sopan.”

Minhwa tak dapat mengangkat wajahnya. Merasa malu, air matanya sudah merebak, tapi mengetahui kalau Yeom akan merasa lebih tak enak lagi, ia telan airmatanya kembali. Namun pada saat itu juga, ia merasakan kecupan Yeom di dahinya.

Hal ini sudah cukup bagi Minhwa. Puas, Minwapun mengangkat wajahnya, bersiap untuk pergi, namun Yeom kembali menciumnya. Setelah berpisah, Minhwa pun tersenyum dan memeluk Yeom.

“Putri, bajumu akan basah. Aku juga harus menyelesaikan mandiku.”

Tapi Minhwa menolak untuk pergi. Bau jeogori Yeom tak sebanding dengan bau Yeom saat ini.

Dari kejauhan, seseorang memperhatikan tempat pemandian yang tertutup dengan sedih. Ia adalah Seol, yang berdandan seperti pria. Mendengar kedatangan seorang pelayan, dengan tangkas ia melompati  pagar. Namun walaupun sudah ada di luar, ia tak sanggup pergi dan malah berbalik melihat rumah Yeom lagi dan lagi. Hanya ketika ia merasakan kedatangan seseorang, ia menundukkan kepala dan segera pergi. Orang itu adalah Woon, yang diutus oleh Raja karena telah mendengar berita kedatangan Yeom.

Saat Woon dan Seol berpapasan, mereka sama-sama berhenti. Seol melihat pedang pengawal kerajaan yang dibawa Woon. Dan Woon pun heran, mengapa seorang wanita berpakaian seperti laki-laki. Begitu pula pedang yang tersembunyi di balik punggungnya dan caranya berjalan mengusik perhatiannya. Bukan hal yang umum jika seorang wanita membawa pedang. Dan ia langsung mengetahui kalau wanita itu adalah gadis pelayan Wol.

Woon melihat ke rumah Yeom. Ia yakin kalau Seol tadi memperhatikan rumah itu sebelumnya. Tapi ketika ia berbalik, Seol telah pergi dan tak dapat ia temukan di mana-mana.

Selanjutnya :
The Moon that Embraces the Sun - Bab 5
All credits go to the author of The Moon that Embraces the Sun, Jung Eun Gwol. Thanks to Blue for her English translation from Bellectricground. Indonesian translation by Dee from Kutudrama.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Please don't be silent reader, please post your comment anything^^
gamsahamnidaaaaaaaaaa^_^

About Me ^_^

Foto saya
Annyeong ^-^ Hollaaaa ^^ I'm a K-lovers (Kdrama Lovers + Kpopers) I love Korea so much :* (but I Love Indonesia too, cuz it's my country) ^o^ However, I can't live without Kpop & Kdrama, there're like an oxygen for me ^^ *lebay ON*

My Total Viewers

My Cutie Followers ^O^

Thanks for visiting my blog, Next time Let's visite again^_^