Novel : The Moon That Embracing The Sun - Bab 4
Membaca bab
4 ini, saya jadi teringat ketika saya membaca terjemahan Novel yang kemudian
diadaptasi menjadi drama Sungkyunkwan Scandal. Jika dikelompokkan, Novel
Sungkyunwan Scandal dan Novel The Moon That Embraces The Sun masuk pada
kategori Chicklit, dan bukannya Teenlit. Jadi ada beberapa bagian yang cukup
dewasa di buku ini.
Saya belum
membaca sisa dari novel ini, tapi mengikuti pola Jung Eun Gwol dari novel
sebelumnya, saya kira akan ada romantisme yang masuk dalam kategori young adult
di bagian tengah buku. Jadi saya akan mensensornya demi kenyamanan bersama.
Novel : The Moon That Embraces The
Sun – Bab 4
Bersamaan
dengan suara genderang yang menandakan subuh, Wol diam-diam undur diri. Dan tak
lama kemudian,Hwon pun terbangun. Setelah meminum sedikit air, Hwan langsung
bertanya pada dayang, “Apakah seseorang mengunjungiku kemarin malam?”
Semuanya
terkejut, tapi kasim dengan tenang menjawab kalau ahli nujum dari Kantor
Astronomi singgah kemarin malam untuk membawakan jimat penangkal.
Hwon
meregangkan badan dan bertanya heran, “Jimat penangkal seperti apa? Aku merasa
jauh lebih baik.”
Tabib Istana
segera dipanggil dan wajahnya sumringah setelah merasakan denyut nadi Raja.
Semuanya gembira karena kesehatan Raja membaik dengan sangat cepat, tapi ahl
nujjum istana gemetar ketakutan menyadari kalau masalah kesehatan Hwon
sebenarnya bukan masalah medis dan mereka pun masih belum tahu penyebabnya.
Bahkan yang
lebih mengejutkan lagi adalah Wol tetap terlihat sehat. Biasanya kesehatan
shaman yang menggantikan menerima guna-guna dari Raja akan langsung memburuk,
tapi hal ini tak terjadi.
Dengan
kesehatannya yang cepat membaik, Hwon memaksa unntuk langsung mengerjakan tugas
yang telah ia abaikan selama sakit. Ia mengirimkan salam pagi pada Ibu Suri
Istana (Nenek Hwon) dan Ibu Suri (Ibu Hwon) melalui kasim. Dan pada istrinya
yang ia tak pernah merasakan kasih, bahkan kadang melupakannya, ia kirimkan
pesan agar tak perlu mengunjunginya.
Hwon
teringat kalau ia memiliki istri jika ia bertemu dengan mertuanya, Menteri
Papyeong. Bahkan sampai sekarang, Hwon berharap dapat mengenyahkan Menteri
Papyeong dengan mengasingkannya, tapi hal itu tak dapat ia lakukan karena
berarti ia akan mengibarkan bendera perang pada neneknya sendiri yang
melindungi pria tersebut.
Sementara
itu, nurani Woon bertentangan ketika mengawal Hwon. Ia tak dapat menceritakan
masalah Wol padanya. Tapi ia juga tak dapat menyembunyikannya pada Hwon yang
telah bersusah payah mencari Wol.
Walaupun
Woon selalu diam, namun Hwon merasa diamnya Woon kal ini tak seperti biasanya.
Ia menyuruh Woon untuk beristirahat, dan Woon pun pergi tanpa suara. Ketika
pengawal depan melihat kepergian Woon, mereka langsung bersigap. Tanpa Woon di
samping Hwon berarti para pengawal harus lebih waspada dalam menjaga Raja. Woon
sangatlah tampan, bahkan para pengawal pria pun berdebar-debar saat dilewati
oleh Woon yang bermata tajam dan berhidung mancung.
Woon menemui
ahli nujum kerajaan di istana. Setelah bimbang cukup lama, ia pun bertanya,
“Dimana dia?”
Ahli nujum
kerajaan bingung akan pertanyaan yang dilemparkan oleh Woon yang biasanya diam,
tapi ia segera menangkap maksud Woon yang menanyakan keberadaan shaman yang
semalam. Ia meminta Woon untuk tak khawatir karena shaman tersebut akan tinggal
di tempat terpencil dekat kediaman shaman kerajaan selama sebulan.
“Sejak kapan
ia menjadi bagian dari Shaman Kerajaan?”
“Ia telah
lama terdaftar menjadi Shaman.”
Dengan
kata-kata itu, ahli nujum istana buru-buru pergi untuk menemui Hwon, dan
meninggalkan Woon dengan berbagai pertanyaan tak terjawab. Apa yang dikerjakan oleh shaman kerajaan di
pedesaan yang jauh dari istana? Bagaimana kondisi kesehatannya sekarang? Apakah
mempengaruhi kesehatannya? Kemana ia akan pergi setelah masa satu bulannya
berakhir?
Tak lama,
matahari terbit dari timur dan mencerahkan dunia. Woon menatap matahari yang
menyilaukan.
“Jaraknya
dengan istana sepertinya lebih jauh dari 10.000 ri (kurang lebih 3.927 km). Aku
berkelana mencarimu. Mungkinkah kau sekarang juga sedang menatap matahari yang
sama? Jika iya, kuminta jangan. Lebih baik tutup matamu daripada menatap
matahari. Kau mungkin tak tahu betapa berat hatiku tak dapat menjadi awan yang
dapat menyembunyikan sinarmu. Apakah kau pikir matahari yang tak dapat melihat
bulan akan lebih bahagia daripada awan yang menyaksikan bulan dan matahari?”
Sementara
itu ahli nujum istana memberikan dokumen yang dibungkus kain sutra merah pada
raja, yang berisi waktu baik bagi Raja dan Ratu untuk menyempurnakan perkawinan
mereka. Tapi melirikpun, Hwon tak sudi.
“Yang
Mulia..”
“Aku masih
merasa belum sehat.”
“Tak usah
buru-buru, Yang Mulia. Mohon mulai sekarang Paduka mempersiapkan diri untuk
dapat memiliki pewaris tahta, sehingga pemerintahan akan kembali stabil.”
Raja dan
Ratu tak dapat tidur bersama setiap saat. Untuk mencegah lahirnya Raja yang
lalim, waktu baik untuk pembuahan pun ditentukan oleh Kantor Astronomi. Tapi
dengan segala hari perkecualian; yaitu saat bulan purnama, tanggal satu setiap
bulannya, hari terakhir setiap bulannya, hari yang berangin, hari yang
berhujan, hari yang berhujan badai atau hari di saat kondisi kesehatan Raja dan
Ratu sedang tak baik, maka hari yang benar-benar ‘disetujui’ mungkin hanya satu
kali dalam satu bulan. Jadi pada hari itu, Raja mau tak mau harus mengeluarkan.
[Note : duh, alinea yang susah-susah
gampang untuk diterjemahkan. Karena lucu dan agak-agak saru. Cuman karena saya
hanya menterjemahkan, don’t blame it on me, ya.. Haduh.. kesian banget jadi raja.. ]
Tapi sampai
sekarang Hwon belum pernah menyempurnakan perkawinannya dengan Ratu. Tanpa
alasan yang jelas, sejak awal Raja sudah membenci Ratu. Dan ketika hari baik
sudah dipilih, sesuatu pasti selalu terjadi sehingga membuat kesempatan itu
hilang. Jadi saat sidang selalu terjadi kericuhan, antara pihak yang
menginginkan Raja untuk mengambil selir dengan pihak Ratu yang menolak hal itu.
Dengan wajah
cemberut, Hwon membuka dokumen itu secara
serampangan. Hari baik yang dipilih adalah satu hari sebelum bulan
purnama – hari terakhir dimana Wol ada di istana. Tapi tentu saja, Hwon tak
mengetahui hal ini.
“Lihatlah,
Won. Aku juga bukan manusia. Bagaimana mungkin aku berbeda dengan sapi dan babi
yang harus beranak pinak? Walaupun kau bilang kau tak ingin ikut denganku,
seharusnya aku harus merengkuhmu saat itu juga. Aku benar-benar
menginginkannya. Bukan ragaku, tapi jiwaku.”
Saat kembali
ke ruangannya malam itu, Hwon tak lagi mengungkit masalah Wol. Bahkan ia tak
lagi memandang bulan. Ia malah menerima teh bunga matahari dengan senang, dan
jatuh terlelap .. tak menyadari kalau Wol yang ia rindukan berada di
sampingnya.
* * *
Minhwa
menghela nafas di tengah-tengah kegiatannya menyulam seekor merak. Ia
benar-benar bermaksud untuk menyulam sebuah merak, tapi yang ia lihat di
hadapannya sekarang adalah seekor ayam gendut. Ia tak mungkin menggunakan
sulamannya untuk ditempelkan di seragam suami tercintanya, Yeom. Ia memeluk
jeogori (atasan hanbok) milik Yeom.
“Tuanku, aku
kangen padamu. Sudah lama ..Ah, baru sebulan sejak kepergianmu, tapi rasanya
lebih dari setahun bagiku. Aku ingin memamerkan hasil sulamanku saat kau
kembali, tapi aku malah mengacaukannya. Walau tak ada yang dapat kupamerkan,
kumohon cepatlah pulang.”
Bau tubuh
Yeom sudah tak tercium dari jeogori
tersebut, dan hanya wangi milik Minhwa yang tersisa. Sebulan penuh ia memeluk
jeogori itu. Diserang rasa kangen yang mendadak datang, air mata mulai merebak di mata Minhwa.
“Air mata,
ayo masuklah kembali. Air mata, ayo masuklah kembali. Kalau seorang wanita
menangis, hal buruk akan terjadi pada suaminya.”
Bersamaan
dengan Minhwa yang berjuang untuk tak meneteskan air mata, ia mendengar
teriakan pelayan wanita dari luar.
“Yang Mulia!
Yang Mulia! Beliau sudah tiba. Menantu kerajaan telah tiba!”
Mendengar
kata-kata itu, Minhwa membuka pintu kamar dengan terkejut.
“Apakah
benar? Ia sudah ada di sini atau ia akan menuju ke sini?”
“Beliau
sudah memasuki pintu gerbang utama.”
Bersukacita,
Minhwa melesat dan hampir tersandung roknya sendiri akibat ketidaksabarannya.Ia
membenahi bajunya dan bersiap-siap untuk keluar, tapi berhenti sejenak untuk
membedaki wajahnya. Kemudian ia berbalik dan bertanya pada Nyonya Min bagaimana
penampilannya. Puas mendengar kata-kata Nyonya Min yang mengatakan kalau ia
kelihatan cantik, Minhwa mengangkat roknya dan berlari keluar.
Terkejut
melihatnya, Nyonya Min mengejarnya, “Yang Mulia! Harga diri Paduka! Harga diri
Paduka!”
Tapi Minhwa
tak mendengarkannya dan berlari dengan hanya mengenakan beoseon (kaos kaki yang
dipakai untuk hanbok). Dibelakangnya Nyonya Min menyerukan tentang harga diri,
dan dibelakangnya lagi seorang gadis pelayan mengejarnya dengan membawa sepatu
Minhwa.
Setelah
melihat Yeom masuk dan disambut oleh para pelayan, Putri Minhwa menghentikan langkahnya
dan berbalik karena malu. Berharap suaminya langsung menemuinya setelah menyapa
para pelayan, ia berulang kali memainkan pita bajunya. Rasanya dadanya ingin
meledak saat ia menunggu, dan ia merasakan kehadiran Yeom di belakangnya. Tapi
bukannya menyapa Putri Minhwa, Yeom malah terus berjalan menuju kamar ibunya.
Walaupun kecewa, ia menghibur dan mengingatkan dirinya sendiri kalau sudah
sepatutnya seorang anak yang berbakti harus menyapa ibunya terlebih dahulu.
Minhwa berdiri di depan kamar ibu mertuanya, hampir tak dapat menahan diri
untuk menyerbu masuk.
Yeom memberi
hormat pada Nyonya Shin dan kemudian berlutut di hadapannya.
“Apakah
hatimu sekarang jauh lebih baik setelah kembali dari perjalanan?”
“Ya.”
Yeom
tersenyum tanpa suara. Nyonya Shin menghela nafas sebelum berbicara, “Beberapa
kali pejabat istana mengunjungi rumah ini saat kau pergi. Keluarga kerajaan dan
menantu kerajaan seharusnya tak boleh meninggalkan Hanyang .. “
“Aku telah
mendapatkan ijin.”
“Tapi aku
tak dapat menatap Putri. Tahukah kau betapa ia sungguh-sungguh menantikanmu?
Apakah kau telah menyapanya sebelum datang menemuiku?”
“Belum. Aku
ingin menemui Ibu dahulu.”
“Tak
seharusnya kau begitu. Cepatlah keluar dan hiburlah dia. Ia pasti tak sabar
menunggu di luar.”
“Aku akan
menemuinya setelah aku mandi. Ibu tak perlu khawatir.”
Melihat Yeom
keluar, Minhwa berbalik dan mulai mempermainkan bajunya lagi. Tapi seperti
tadi, Yeom berjalan melewatinya langsung menuju kamarnya sendiri. Minhwa
ragu-ragu untuk mengikutinya, tapi setelah melihat pintunya tertutup, air mata
merebak di matanya. Karena ada pelayan di sekitarnya, dengan cepat ia
menyembunyikan tangisnya dan kembali ke dalam kamar. Begitu sampai di dalam
kamar, ia mengeluarkan tangis yang ia tahan sedari tadi. Setelah menangis untuk
sekian lama, Minhwa merindukan Yeom lagi. Dengan wajah bersimbah air mata, ia
menyuruh pelayannya untuk melihat apa yang sedang dilakukan oleh Yeom.
Pelayan itu
keluar dan segera kembali sambil berbisik, “Beliau sedang mandi.”
Melihat Minhwa
bangkit, Nyonya Min buru-buru meraih lengan Minhwa.
“Apa yang
akan Yang Mulia lakukan? Yang Mulia tak bermaksud..? Tidak boleh! Saya tahu apa
rencanya Yang Mulia. Menantu Kerajaan adalah pria yang bermartabat. Yang Mulia
benar-benar tak boleh. Harga diri Yang Mulia..”
“Aku akan
berperilaku bermartabat jika aku di hadapan orang lain, tapi aku tak
memerlukannya di hadapan suamiku sendiri. Rasanya aku akan mati jika aku tak
menemuinya sekarang juga. Jangan ikuti aku, Nyonya Min!”
Minhwa lari
ke tempat pemandian, dan tanpa sepengatahuan siapapun, diam-diam ia menyelinap
masuk ke dalam. Bahkan untuk pasangan yang telah menikah, melihat pasangannya
mandi adalah menyalahi tata krama. Dan saat mandi sendiri pun, sudah sepatutnya
mandi dengan memakai pakaian. Yeom adalah pria yang tahu sopan santun yang
selalu mengikuti tata karma. Jadi walaupun ia ada di dalam bak mandi, ia tetap
mengenakan pakaian.
Yeom past
baru saja mencuci rambutnya, karena rambut panjangnya menempel ke leher dan
mengambang di atas air. Walaupun ia berpakaian, tapi pakaian itu basah dan
membayang, memperlihatkan kulit di balik pakaian itu. Air yang menetes dari
hidung dan dagunya, terlihat begitu indah bagi Minhwa. Alis matanya yang gelap,
bola matanya yang hitam seakan sedang berpikir dalam, sehingga tak menyadari
kedatangan Minhwa. Terpesona oleh suaminya sendiri, Minhwa pun tenggelam dalam
alam pikirannya sendiri.
Akhirnya
Yeom merasakan kehadiran orang lain di dalam ruangan dan terkejut mencarinya.
Ia semakin terkejut menemukan orang itu adalah istrinya sendiri. Tapi
keterkejutan itu berubah menjadi canggung karena Minhwa tetap berdiri di
hadapannya. Yeom berkata pelan, agar tak ada orang yang mendengarnya.
“Aku sungguh
terkejut. Apa yang membawamu ke sini, Putri?”
“Aku .. aku
hanya ingin mengucapkan salam ..”
“Kalau
begitu nanti saja.”
“Tidak.
Sekarang.. Aku merindukanmu dan tak dapat menunggu lebih lama lagi. Bahkan saat
memandangmu seperti ini, aku juga masih merindukanmu.”
Tangis
Minhwa pun pecah. Yeom tak tahu bagaimana cara menyapa Minhwa dengan pakaian
(atau tanpa pakaian) seperti ini. Setelah cukup lama merasa tak enak, Yeom
mengulurkan tangan padanya. Masih dengan airmata mengalir di wajahnya, Minhwa
menghampiri Yeom dan menyambut uluran tangannya. Dengan hangat tangan Yeom
menggenggam tangan Minhwa.
“Apakah
mungkin aku membuatmu sedih?”
Minhwa tak
menjawab. Dengan lembut Yeom mengusap air mata Minhwa.
“Rencananya
aku akan menemuimu setelah mandi.”
“Tapi.. kau
kan dapat menatapku sekali saja. Itu sudah cukup bagiku.”
“Ada banyak
pelayan di sekitar kita. Dan juga.. , Putri, tak peduli betapa penting masalah
itu, kau harus tetap mengenakan sepatumu.”
Minhwa
terkejut mendengar ucapan itu dan melihat Yeom tersenyum padanya. Kenyataan
kalau Yeom tahu ia tak memakai sepatu berarti Yeom sudah memperhatikannya tanpa
ia sadari. Dan karena itu, ia merasa bahagia. Tapi kebahagiaan itu juga
singkat, karena Minhwa menginginkan lebih saat ia memandang bibir Yeom. Padahal
ekspresi Yeom jelas meminta Minhwa untuk meninggalkan ruang mandi karena mereka
telah bertukar salam.
Yeom tak
tahu apa keinginan Minhwa dan Minhwa tahu kalau Yeom tak akan pernah bisa
menebaknya. Kedatangannya ke ruang mandi saja sudah diluar nalar Yeom. Minhwa
tahu kalau ia harus segera meninggalkan ruang mandi ini, tapi matanya tak mau
lepas dari Yeom. Akhirnya ia berseru, “Aku ingin sebuah ciuman!”
Yeom
benar-benar sangat terkejut. Minhwa pun menunduk. Tapi bahkan setelah menunggu
sekian lama, Yeom tak bergeming. Minhwa malah mendengarnya berbicara,
“Ehem.. Selama
ini Putri pasti merencanakan berbagai cara untuk mengejutkanku.”
“Aku tak
ingin ciuman yang dalam. Ciuman yang bermartabat pun tak masalah..”
Mendadak
Minhwa merasa khawatir kalau Yeom akan berpikir kalau dirinya adalah wanita
yang agresif, dan hal ini membuatnya sedih.
“Aku masih
tak berpakaian yang sepantasnya. Matahari pun belum tenggelam. Ini tak sopan.”
Minhwa tak
dapat mengangkat wajahnya. Merasa malu, air matanya sudah merebak, tapi
mengetahui kalau Yeom akan merasa lebih tak enak lagi, ia telan airmatanya
kembali. Namun pada saat itu juga, ia merasakan kecupan Yeom di dahinya.
Hal ini
sudah cukup bagi Minhwa. Puas, Minwapun mengangkat wajahnya, bersiap untuk
pergi, namun Yeom kembali menciumnya. Setelah berpisah, Minhwa pun tersenyum
dan memeluk Yeom.
“Putri,
bajumu akan basah. Aku juga harus menyelesaikan mandiku.”
Tapi Minhwa
menolak untuk pergi. Bau jeogori Yeom tak sebanding dengan bau Yeom saat ini.
Dari
kejauhan, seseorang memperhatikan tempat pemandian yang tertutup dengan sedih. Ia
adalah Seol, yang berdandan seperti pria. Mendengar kedatangan seorang pelayan,
dengan tangkas ia melompati pagar. Namun
walaupun sudah ada di luar, ia tak sanggup pergi dan malah berbalik melihat
rumah Yeom lagi dan lagi. Hanya ketika ia merasakan kedatangan seseorang, ia
menundukkan kepala dan segera pergi. Orang itu adalah Woon, yang diutus oleh
Raja karena telah mendengar berita kedatangan Yeom.
Saat Woon
dan Seol berpapasan, mereka sama-sama berhenti. Seol melihat pedang pengawal
kerajaan yang dibawa Woon. Dan Woon pun heran, mengapa seorang wanita
berpakaian seperti laki-laki. Begitu pula pedang yang tersembunyi di balik
punggungnya dan caranya berjalan mengusik perhatiannya. Bukan hal yang umum
jika seorang wanita membawa pedang. Dan ia langsung mengetahui kalau wanita itu
adalah gadis pelayan Wol.
Woon melihat
ke rumah Yeom. Ia yakin kalau Seol tadi memperhatikan rumah itu sebelumnya.
Tapi ketika ia berbalik, Seol telah pergi dan tak dapat ia temukan di
mana-mana.
Selanjutnya : The Moon that Embraces the Sun - Bab 5
All credits
go to the author of The Moon that
Embraces the Sun, Jung Eun Gwol.
Thanks to Blue for her English translation from Bellectricground. Indonesian translation by Dee from
Kutudrama.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Please don't be silent reader, please post your comment anything^^
gamsahamnidaaaaaaaaaa^_^